4 Penyebab UU Jaminan Produk Halal Sulit Dijalankan

4 Penyebab UU Jaminan Produk Halal Sulit Dijalankan

Agung Supriyanto

Produk berlabel halal MUI (ilustrasi)

JAKARTA – Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dinilai belum berfungsi secara maksimal. Hasil penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Agama (Kemenag) menunjukkan bahwa pelaku usaha yang melakukan sertifikasi halal masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah produk yang dihasilkan. 


Menurut Ketua Komisi VIII DPR Saleh Partaonan Daulay, terdapat empat faktor yang menyebabkan para pelaku usaha terkesan menunda melakukan sertifikasi halal terhadap produk-produk mereka. Pertama, UU tersebut belum bisa dilaksanakan secara operasional sebab Peraturan Pemerintah (PP) yang tidak kunjung dikeluarkan. 


“Menurut UU JPH, paling lambat dua tahun setelah diundangkan, PP harus diterbitkan. Sampai sekarang saya belum membaca PPnya. Padahal, ini sudah lebih dari satu tahun setengah,” kata Saleh kepada Republika.co.id, Ahad (8/5).


Saleh melanjutkan, ada kemungkinan para pelaku usaha masih menunggu aturan teknis UU JPH tersebut. Kedua, Badan Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang menjadi amanat UU JPH juga belum didirikan. Padahal, BPJPH inilah yang mestinya menjadi garda terdepan di dalam penyelenggaraan JPH. Sementara, Saleh melihat, hingga saat ini pendirian BPJPH masih sangat samar.


Faktor ketiga, adanya kemungkinan pelaku usaha merasa kesulitan untuk menyertifikasi beberapa jenis produk seperti produk farmasi. Saleh mencontohkan  kesulitan produsen farmasi yang mengimpor bahan baku dari luar negeri. Jika bahan baku itu ternyata berbahan tidak halal dan tidak bisa digantikan dengan bahan yang lain, produsen farmasi tentu akan kesulitan. Bisa jadi, produk tersebut tidak diproduksi lagi karena takut melanggar ketentuan UU JPH.


Keempat, Saleh menilai kesadaran masyarakat selaku konsumen terhadap produk halal belum terlalu baik. Faktor kehalalan suatu produk belum menjadi faktor utama dalam memilih dan membeli suatu produk. Karena itu, produsen menilai bahwa kehalalan suatu produk tidak mempengaruhi nilai keekonomiannya. Artinya, ada atau tidaknya sertifikat halal di dalam produknya, tidak mempengaruhi pendapatan perusahaan.


“Perilaku konsumen juga sangat berpengaruh. Jika masyarakat konsumen tidak mau membeli produk yang tidak berlabel halal, mau tidak mau produsennya akan segera mengurus sertifikatnya,” kata Saleh. Komisi VIII, kata dia, selalu mendorong  agar Kemenag bersungguh-sungguh dalam mengurus JPH muali dari penentuan regulasi hingga pembentukan BPJPH selaku penyelenggara.


Sumber




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Back To Top